Selasa, 25 Agustus 2015

RESENSI FILM): Film "SOEGIJA"

Resensi Film “SOEGIJA”
Oleh    : Herman Doa
NIM     : 01114031
Prodi   : Akuntansi – Kelas D



--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------







A. Data atau Identitas Film
Judul                : Soegija
Jenis Film         : Drama, Biografi
Produser           : Murti Hadi Wijayanto, Djaduk Ferianto, Tri Giovanni
Sutradara          : Garin Nugroho
Penulis Naskah : Armantono & Garin Nugroho
Durasi Film       : 116 menit
Diproduksi oleh : Studio Audio Visual Puskat
Diputar                         : Mulai 7 Juni 2012 di bioskop-bioskop seluruh Indonesia



B. Pemeran Film Soegija:
Nirwan Dewanto, Anissa Hky, Wouter Braaf, Wouter Zweers, Butet Kartaredjasa,
Olga Lydia, Henky Solaiman, Rukman Rosadi, Nobuyuki Suzuki, Margono, Eko Balung
Andrea Reva, Andreano Fidelis


C. Pendahuluan
Film Soegija adalah salah satu film layar lebar karya Sutradara Garin Nugroho.  Film ini dibuat berdasarkan buku karya Budi Subanar yang berisi catatan harian seorang pejuang kemanusiaan yang bernama lengkap Mgr. Albertus Soegijapranata SJ yang biasa dikenal dengan nama Soegija atau dalam bahasa sehari-harinya sebagai Sugiyo. Beliau adalah seorang pahlawan nasional yang kebetulan berprofesi sebagai uskup agung bahkan seorang uskup pribumi pertama di Indonesia.
Jumlah pemain yang dibutuhkan  dalam film Soegija ini adalah sebanyak 2.275 pemain. Bukan hanya jumlah pemainnya saja yang berlimpah. Garin juga banyak menggunakan pelakon baru, yang tidak memiliki latar belakang sinematografi. Hanya Olga Lydia dan Butet Kertarajasa saja pemain yang memiliki modal akting.
Soegija bercerita tentang uskup pribumi pertama di Indonesia yang juga pahlawan nasional, Mgr. Albertus Soegijapranata. Film itu menceritakan peran Soegija ketika Perang Pasifik 1940-1949, yang tidak hanya penting bagi umat Katolik, melainkan untuk Indonesia. Sebab Soegija kerap menulis artikel untuk media luar negeri demi melawan penjajah. Silent diplomacy, nama perjuangan itu. Soegija juga memindahkan Keuskupan Semarang ke Yogyakarta sebagai bentuk solidaritas atas kepindahan ibu kota Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta. Garin sengaja menghidupkan setiap tokoh dalam film tersebut. Setiap tokoh digambarkan dengan konflik hidup masing-masing yang menuntun mereka pada suatu transformasi sejati.
"Saya ingin Indonesia menjadi keluarga besar di mana anak-anak masa depan tidak lagi mendengar nyanyian berbau kekerasan, tidak menuliskan kata-kata bermandi darah. Jangan lagi ada curiga, kebencian dan permusuhan” (Mgr. Soegijapranata).


D. Tubuh Resensi
            1). Sinopsis SIngkat Film Soegija
“Film yang melukiskan kisah-kisah kemanusiaan di masa perang kemerdekaaan bangsa Indonesia pada tahun 1940-1949. Adalah Soegija (diperankan Nirwan Dewanto) yang diangkat menjadi uskup pribumi dalam Gereja Katolik Indonesia. Baginya kemanusiaan itu adalah satu, kendati berbeda bangsa, asal-usul dan ragamnya. Dan perang adalah kisah terpecahnya keluarga besar. Film ini dimulai dengan goresan pena seorang Romo (diperankan oleh Nirwan Dewanto) di atas kertas, yang sekaligus menjadi curahan hatinya. Ia sedang di tengah perang kala itu, ketika para penduduk pribumi harus berlutut dan menunduk di bawah makian serta todongan senjata Belanda. Di masa serba tertekan itu, sang Romo mendapat kehormatan menjadi pribumi pertama yang dilantik sebagai Uskup Danaba. Ia pun lebih dikenal dengan sebutan Mgr. Albertus Soegijapranata SJ, dan hijrah dari gerejanya di Yogyakarta ke Semarang. Dengan ‘jabatan’ itu, Romo lebih dihormati. Yang datang ke gereja mendengarkan ceramahnya bukan hanya penduduk lokal, tetapi juga orang-orang Belanda. Meski begitu, kesehariannya yang bersahaja dan merakyat, tak berubah.
Tahun demi tahun berganti, penjajah datang dan pergi. Jepang masuk Indonesia tahun 1942, Belanda takluk dan harus rela dilucuti senjatanya. Mereka ingin menduduki gereja sebagai markas, namun dengan tegas Soegija menolak. “Penggal dulu kepala saya,” ujarnya singkat.
Beliau memang tidak terjun langsung untuk berperang, namun di setiap masa andilnya selalu tampak. Saat penduduk butuh tempat bernaung karena kondisi jalanan chaos, Soegija membuka lebar-lebar pintu gereja untuk menampung mereka. Ia memerintahkan Saat Hiroshima – Nagasaki di-bom dan masyarakat menuntut kemerdekaan yang belum juga diakui oleh sekutu yang kembali datang ke Indonesia, Soegija berdiplomasi dengan Vatikan sehingga negara itu menjadi negara Barat pertama yang mengakui kedaulatan Indonesia.
Soegija memang terkenal dengan silent diplomacy-nya. Tanpa harus menggunakan kekerasan dan senjata, iman dan semangat kemanusiaannya dapat menjadi panutan yang tak lekang waktu. Menurutnya, menggalang cinta kasih dan keadilan belum cukup, juga perlu bertempur dengan lembut untuk kemerdekaan. Berkat kegigihannya itu, Seogija menjadi uskup pribumi pertama yang mendapat gelar pahlawan nasional dari Soekarno.
Film garapan sutradara Garin Nugroho yang dibuat melalui riset panjang ini bukan film misionaris agama Katolik seperti yang banyak diperdebatkan. Tokohnya juga tidak selalu Soegija. Film ini menampilkan sisi humanis yang masih ada dalam sebuah perang.
Mariyem (Annisa Hertami) yang terpisah dari kakaknya Maryono (Abe) akibat perang, kembali dipertemukan dalam kondisi berbeda. Ling Ling (Andrea Reva) seorang bocah Tionghoa juga terpisah dari mamanya (Olga Lydia), kembali bertemu dalam sebuah momen di gereja. Tokoh menggelitik pun ditampilkan, seorang bocah yang hanya bisa mengeja kata ‘merdeka’ tapi punya semangat juang dan selalu menjadi garda terdepan pasukan pemuda.
Rasa kemanusiaan juga dimiliki para penjajah. Nobuzuki (Suzuki), pemimpin tentara Jepang, tak pernah tega pada anak-anak karena ingat anaknya di rumah. Robert (Wouter Zweers), tentara Belanda yang sangat bernafsu menjadi mesin perang paling hebat, perasaannya luluh saat menemukan bayi di medan perang. Hendrick (Wouter Braaf), jurnalis asal Belanda, pun selalu memotret ekspresi-ekspresi manusiawi dan nasionalisme Indonesia. Ia menemukan cintanya, namun tak mampu bersatu karena perang.
Selain menampilkan kemanusiaan yang beragam, film ini juga banyak menampilkan otokritik untuk bangsa. Baik berupa visual, maupun kata-kata satir dari goresan pena dan ucapan Soegija sendiri. Kata-kata seperti “Apakah yang harus dilakukan seorang pemimpin di tengah krisis dan perubahan zaman?” serta “Apa artinya terlahir sebagai bangsa yang merdeka, jika gagal untuk mendidik diri sendiri,” patut dicermati lebih dalam makna dibaliknya.
“Perjuangan sudah selesai, sekarang tinggal bagaimana menata negara dan melayani masyarakat. Kalau mau jadi politikus, harus punya mental politik. Kalau tidak, yang ada dalam pikirannya hanya kekuasaan dan akan menjadi benalu negara,” pesan Soegija di akhir film itu, seakan menjadi perenungan bagi para pemimpin sekaligus rakyat Indonesia di masa sekarang".
            2). Kekurangan dan Kelebihan Film Soegija


Kekurangan:
1.     Sosok Soegija pada cerita tidak terlalu jelas, karena sosoknya hanya terjadi dibeberapa adegan sehingga membuat karakter Soegija tidak merekat kuat.
2.     Begitu banyak pemain dalam film ini membuat film ini tidak memperlihatkan satu pemain pun yang mendominasi penceritaan.
3.     Pada pemutaran film Soegija tokoh Soegija tidak diperankan secara gamblang. Penggambaran Soegija hanya berupa potongan-potongan adegan, foto, bahkan puisi Soegija yang dia tulis pada masa itu yang terinspirasi dari Soegija.

Kelebihan:
1.     Film yang lebih mengangkat aspek kemanusiaan yang universal ketimbang aspek agama.
2.     Tata artistik sinematografinya mampu memikat penonton serta pemilihan kostum dan tempat untuk setiap adegan film begitu pas dengan keadaan negara pada masa tahun 40-an.


            3). Tinjauan lain-lain
Muatan cerita Soegija sejatinya berpotensi membuka jendela-jendela baru dalam membaca sejarah bangsa, sayangnya eksekusinya menyebabkan film terjembab sebelum memenuhi potensi-potensi itu. Ada dua titik potensial. Pertama, Soegija berpotensi menjadi satu dari sedikit film Indonesia tentang perjuangan kemerdekaan di meja diplomasi. Sangat disayangkan peran diplomat ini kurang terangkat, mengingat pencapaian Romo Soegija yang disorot dalam film adalah meyakinkan Vatikan untuk mengakui kemerdekaan Indonesia. Ini satu dari sedikit tindakan konkret yang dilakukan Romo Soegija sepanjang film. Sisanya Romo Soegija lebih banyak terkait dengan penulisan dan pengucapan kutipan-kutipan dari catatan pribadinya.
Pernyataan “100% Katolik, 100% eneric” adalah pemikiran sekaligus respons Romo Soegija tentang perbedaan umat Katolik dengan sekitarnya, sementara pernyataan “Kemanusiaan, kendati berbeda, merupakan sebuah keluarga besar” untuk masyarakat secara umum. Sayangnya, kalimat-kalimat tersebut tak ditubuhkan dengan kejadian-kejadian konkret dalam narasi film, tak juga dijangkarkan dengan kokoh oleh kondisi-kondisi historis yang sejatinya meliputi penulisan kedua kalimat tersebut. Konsekuensinya, buah pemikiran Romo Soegija tersebut terasa terlalu eneric dalam film, tak ada bedanya dengan slogan persatuan ala Bhineka Tunggal Ika yang sering dikumandangkan dan sudah kita ketahui selama ini.
Menonton Soegija tak ubahnya seperti menonton lakon panggung sandiwara perang. Kosa gambar Soegija didominasi oleh rangkaian master shot, yang silih-berganti mempertemukan dua atau tiga tokoh bertukar dialog dalam satu frame yang luas. Melatari tokoh-tokoh tersebut adalah sejumlah lokasi zaman yang dirias sedemikian meyakinkan oleh tim produksi. Untuk urusan teknis ini, tim produksi Soegija patutlah diacungi jempol. Alhasil, yang membekas ketika film usai adalah ruang-ruang yang menubuhi cerita dan retorika-retorika yang diucapkan di dalamnya. Romo Soegija sendiri hanya sebatas nama di judul film.


E.                          Penutup
Film ini sudah memecahkan rekor  MURI dengan jumlah pemain yaitu 2755 orang. Juga film dengan pemakaian bahasa terbanyak yaitu 6 bahasa, Indonesia, Jawa, Inggris, Belanda, Jepang dan Latin. Secara keseluruhan film bagus, tapi yang lebih menonjol ialah pada tata artistik dan musiknya disajikan dengan sangat bagus. Pemilihan kostum dan pemilihan tempat sangat pas dengan latar belakang tahun 40-an, ditambah lagi dengan suasana Nasionalis pada masa itu.

*****



Tidak ada komentar:

Posting Komentar