Resensi Film “SOEGIJA”
Oleh : Herman Doa
NIM : 01114031
Prodi : Akuntansi – Kelas D
A. Data atau Identitas Film
Judul : Soegija
Jenis Film : Drama, Biografi
Produser : Murti Hadi Wijayanto, Djaduk
Ferianto, Tri Giovanni
Sutradara : Garin Nugroho
Penulis Naskah : Armantono &
Garin Nugroho
Durasi Film : 116 menit
Diproduksi oleh : Studio Audio Visual
Puskat
Diputar : Mulai 7 Juni 2012 di bioskop-bioskop seluruh
Indonesia
B. Pemeran Film Soegija:
Nirwan Dewanto, Anissa Hky, Wouter Braaf, Wouter Zweers, Butet Kartaredjasa,
Olga Lydia, Henky Solaiman, Rukman Rosadi, Nobuyuki Suzuki, Margono, Eko Balung
Andrea Reva, Andreano Fidelis
C. Pendahuluan
Film Soegija adalah salah satu film layar lebar karya Sutradara Garin Nugroho. Film ini dibuat
berdasarkan buku karya Budi Subanar yang berisi catatan harian seorang pejuang
kemanusiaan yang bernama lengkap Mgr. Albertus Soegijapranata SJ yang biasa
dikenal dengan nama Soegija atau dalam bahasa sehari-harinya sebagai Sugiyo.
Beliau adalah seorang pahlawan nasional yang kebetulan berprofesi sebagai uskup
agung bahkan seorang uskup pribumi pertama di Indonesia.
Jumlah pemain yang dibutuhkan dalam film Soegija ini adalah sebanyak 2.275 pemain. Bukan
hanya jumlah pemainnya saja yang berlimpah. Garin juga banyak menggunakan
pelakon baru, yang tidak memiliki latar belakang sinematografi. Hanya Olga
Lydia dan Butet Kertarajasa saja pemain yang memiliki modal akting.
Soegija
bercerita tentang uskup pribumi pertama di Indonesia yang juga pahlawan
nasional, Mgr. Albertus Soegijapranata. Film itu menceritakan peran Soegija
ketika Perang Pasifik 1940-1949, yang tidak hanya penting bagi umat Katolik,
melainkan untuk Indonesia. Sebab Soegija kerap menulis artikel untuk media luar
negeri demi melawan penjajah. Silent
diplomacy, nama perjuangan itu. Soegija juga memindahkan Keuskupan Semarang
ke Yogyakarta sebagai bentuk solidaritas atas kepindahan ibu kota Indonesia
dari Jakarta ke Yogyakarta. Garin sengaja menghidupkan setiap tokoh dalam film
tersebut. Setiap tokoh digambarkan dengan konflik hidup masing-masing yang
menuntun mereka pada suatu transformasi sejati.
"Saya ingin
Indonesia menjadi keluarga besar di mana anak-anak masa depan tidak lagi
mendengar nyanyian berbau kekerasan, tidak menuliskan kata-kata bermandi darah.
Jangan lagi ada curiga, kebencian dan permusuhan” (Mgr. Soegijapranata).
D. Tubuh Resensi
1).
Sinopsis SIngkat Film Soegija
“Film
yang melukiskan kisah-kisah kemanusiaan di masa perang kemerdekaaan bangsa
Indonesia pada tahun 1940-1949. Adalah Soegija (diperankan Nirwan Dewanto) yang
diangkat menjadi uskup pribumi dalam Gereja Katolik Indonesia. Baginya
kemanusiaan itu adalah satu, kendati berbeda bangsa, asal-usul dan ragamnya.
Dan perang adalah kisah terpecahnya keluarga besar. Film ini dimulai dengan goresan pena seorang Romo (diperankan oleh Nirwan Dewanto) di
atas kertas, yang sekaligus menjadi curahan hatinya. Ia sedang di tengah perang
kala itu, ketika para penduduk pribumi harus berlutut dan menunduk di bawah
makian serta todongan senjata Belanda. Di masa serba tertekan itu, sang Romo
mendapat kehormatan menjadi pribumi pertama yang dilantik sebagai Uskup Danaba.
Ia pun lebih dikenal dengan sebutan Mgr. Albertus Soegijapranata SJ, dan hijrah
dari gerejanya di Yogyakarta ke Semarang. Dengan ‘jabatan’ itu, Romo lebih
dihormati. Yang datang ke gereja mendengarkan ceramahnya bukan hanya penduduk
lokal, tetapi juga orang-orang Belanda. Meski begitu, kesehariannya yang
bersahaja dan merakyat, tak berubah.
Tahun
demi tahun berganti, penjajah datang dan pergi. Jepang masuk Indonesia tahun
1942, Belanda takluk dan harus rela dilucuti senjatanya. Mereka ingin menduduki
gereja sebagai markas, namun dengan tegas Soegija menolak. “Penggal dulu kepala saya,” ujarnya singkat.
Beliau memang tidak terjun langsung
untuk berperang, namun di setiap masa andilnya selalu tampak. Saat penduduk
butuh tempat bernaung karena kondisi jalanan chaos, Soegija membuka lebar-lebar pintu gereja untuk menampung
mereka. Ia memerintahkan Saat Hiroshima – Nagasaki di-bom dan masyarakat
menuntut kemerdekaan yang belum juga diakui oleh sekutu yang kembali datang ke
Indonesia, Soegija berdiplomasi dengan Vatikan sehingga negara itu menjadi
negara Barat pertama yang mengakui kedaulatan Indonesia.
Soegija memang
terkenal dengan silent diplomacy-nya.
Tanpa harus menggunakan kekerasan dan senjata, iman dan semangat kemanusiaannya
dapat menjadi panutan yang tak lekang waktu. Menurutnya, menggalang cinta kasih
dan keadilan belum cukup, juga perlu bertempur dengan lembut untuk kemerdekaan.
Berkat kegigihannya itu, Seogija menjadi uskup pribumi pertama yang mendapat
gelar pahlawan nasional dari Soekarno.
Film
garapan sutradara Garin Nugroho yang dibuat melalui riset panjang ini bukan
film misionaris agama Katolik seperti yang banyak diperdebatkan. Tokohnya juga
tidak selalu Soegija. Film ini menampilkan sisi humanis yang masih ada dalam
sebuah perang.
Mariyem (Annisa
Hertami) yang terpisah dari kakaknya Maryono (Abe) akibat perang, kembali
dipertemukan dalam kondisi berbeda. Ling Ling (Andrea Reva) seorang bocah
Tionghoa juga terpisah dari mamanya (Olga Lydia), kembali bertemu dalam sebuah
momen di gereja. Tokoh menggelitik pun ditampilkan, seorang bocah yang hanya
bisa mengeja kata ‘merdeka’ tapi punya semangat juang dan selalu menjadi garda
terdepan pasukan pemuda.
Rasa kemanusiaan juga
dimiliki para penjajah. Nobuzuki (Suzuki), pemimpin tentara Jepang, tak pernah
tega pada anak-anak karena ingat anaknya di rumah. Robert (Wouter Zweers),
tentara Belanda yang sangat bernafsu menjadi mesin perang paling hebat,
perasaannya luluh saat menemukan bayi di medan perang. Hendrick (Wouter Braaf),
jurnalis asal Belanda, pun selalu memotret ekspresi-ekspresi manusiawi dan
nasionalisme Indonesia. Ia menemukan cintanya, namun tak mampu bersatu karena
perang.
Selain
menampilkan kemanusiaan yang beragam, film ini juga banyak menampilkan
otokritik untuk bangsa. Baik berupa visual, maupun kata-kata satir dari goresan
pena dan ucapan Soegija sendiri. Kata-kata seperti “Apakah yang harus dilakukan
seorang pemimpin di tengah krisis dan perubahan zaman?” serta “Apa artinya
terlahir sebagai bangsa yang merdeka, jika gagal untuk mendidik diri sendiri,”
patut dicermati lebih dalam makna dibaliknya.
“Perjuangan sudah
selesai, sekarang tinggal bagaimana menata negara dan melayani masyarakat.
Kalau mau jadi politikus, harus punya mental politik. Kalau tidak, yang ada
dalam pikirannya hanya kekuasaan dan akan menjadi benalu negara,” pesan Soegija di akhir film
itu, seakan menjadi perenungan bagi para pemimpin sekaligus rakyat Indonesia di
masa sekarang".
2).
Kekurangan dan Kelebihan Film Soegija
Kekurangan:
1.
Sosok Soegija pada
cerita tidak terlalu jelas, karena sosoknya hanya terjadi dibeberapa adegan
sehingga membuat karakter Soegija tidak merekat kuat.
2.
Begitu banyak pemain dalam
film ini membuat film ini tidak memperlihatkan satu pemain pun yang mendominasi
penceritaan.
3.
Pada pemutaran
film Soegija tokoh Soegija tidak diperankan secara gamblang.
Penggambaran Soegija hanya berupa potongan-potongan adegan, foto, bahkan puisi
Soegija yang dia tulis pada masa itu yang terinspirasi dari Soegija.
Kelebihan:
1.
Film yang lebih
mengangkat aspek kemanusiaan yang universal ketimbang aspek agama.
2.
Tata artistik sinematografinya mampu memikat
penonton serta pemilihan kostum dan tempat untuk setiap
adegan film begitu pas dengan keadaan negara pada masa tahun 40-an.
3).
Tinjauan lain-lain
Muatan cerita Soegija sejatinya berpotensi membuka
jendela-jendela baru dalam membaca sejarah bangsa, sayangnya eksekusinya
menyebabkan film terjembab sebelum memenuhi potensi-potensi itu. Ada dua titik
potensial. Pertama, Soegija berpotensi menjadi satu dari sedikit film
Indonesia tentang perjuangan kemerdekaan di meja diplomasi. Sangat disayangkan
peran diplomat ini kurang terangkat, mengingat pencapaian Romo Soegija yang
disorot dalam film adalah meyakinkan Vatikan untuk mengakui kemerdekaan
Indonesia. Ini satu dari sedikit tindakan konkret yang dilakukan Romo Soegija
sepanjang film. Sisanya Romo Soegija lebih banyak terkait dengan penulisan dan
pengucapan kutipan-kutipan dari catatan pribadinya.
Pernyataan “100% Katolik, 100% eneric” adalah pemikiran sekaligus
respons Romo Soegija tentang perbedaan umat Katolik dengan sekitarnya,
sementara pernyataan “Kemanusiaan, kendati berbeda, merupakan sebuah keluarga
besar” untuk masyarakat secara umum. Sayangnya, kalimat-kalimat tersebut tak
ditubuhkan dengan kejadian-kejadian konkret dalam narasi film, tak juga
dijangkarkan dengan kokoh oleh kondisi-kondisi historis yang sejatinya meliputi
penulisan kedua kalimat tersebut. Konsekuensinya, buah pemikiran Romo Soegija
tersebut terasa terlalu eneric dalam film, tak ada bedanya dengan slogan
persatuan ala Bhineka Tunggal Ika yang sering dikumandangkan dan sudah kita
ketahui selama ini.
Menonton Soegija tak ubahnya seperti menonton lakon
panggung sandiwara perang. Kosa gambar Soegija didominasi oleh
rangkaian master shot, yang silih-berganti mempertemukan dua atau tiga
tokoh bertukar dialog dalam satu frame yang luas. Melatari
tokoh-tokoh tersebut adalah sejumlah lokasi zaman yang dirias sedemikian
meyakinkan oleh tim produksi. Untuk urusan teknis ini, tim
produksi Soegija patutlah diacungi jempol. Alhasil, yang membekas
ketika film usai adalah ruang-ruang yang menubuhi cerita dan retorika-retorika
yang diucapkan di dalamnya. Romo Soegija sendiri hanya sebatas nama di judul
film.
E.
Penutup
Film ini sudah memecahkan rekor
MURI dengan jumlah pemain yaitu 2755 orang. Juga film dengan pemakaian
bahasa terbanyak yaitu 6 bahasa, Indonesia, Jawa, Inggris, Belanda, Jepang dan
Latin. Secara keseluruhan film bagus, tapi yang lebih
menonjol ialah pada tata artistik dan musiknya disajikan dengan sangat bagus.
Pemilihan kostum dan pemilihan tempat sangat pas dengan latar belakang tahun
40-an, ditambah lagi dengan suasana Nasionalis pada masa itu.
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar